Rabu, 28 November 2007

Keaslian dan Perubahan atawa Tradisi dan Modernitas

In common parlance, the terms “traditional” and “modern” suggest two differing attitudes
towards the negotiation of change, the former resisting it, the latter embracing it. But
“Tradition”, in the sense of primordial wisdom, is not necessarily resistant to change. The
image of Shiva Nataraja embodies the ideas of both stillness (the fixed, or being) and
movement (the changing, or becoming). “Tradition” is a combination of both these
elements. It is at once static Equilibrium and dynamic Attraction, the classical realism of
transcendence and the romantic idealism of immanence. Man is both a slave of change
(being subject to the processes of time) and its master (being equipped to transcend it,
spiritually). The quest for salvation is, at one level, a quest for peace, the freedom from
change, but at another, it is a quest for creativity and freshness, the freedom from
petrification.
(M. Ali Lakhani, "Understanding Tradition", www.religioperennis.org)


Gue sengaja ngutip kutipan di atas untuk memahami secara arif bahwa segala keaslian yang diwariskan oleh Adat kite, tidak mesti menolak segala perubahan yang dilakukan oleh anak-anak putra Adat itu sendiri. Mereka bukanlah 'pembangkang Adat', bukan pula 'pemberontak' atau 'pembelot', tapi mereka hendak mengadaptasikan Adat dalam bahasa modern.


Adat memang sudah lama mati 'terbunuh' oleh peradaban modern yang datang dari Arab dan dari Eropa. Peradaban Adat sudah lama digantikan dengan peradaban Islam dan peradaban Kristiani (Katolik maupun Protestan) yang datang ke Indonesia. Rumah-rumah ibadat Adat telah roboh dan digantikan Mesjid-Mesjid dan Gereja-Gereja. Jangan sepenuhnya menyalahkan mereka yang telah menyerang Adat, sebab kaum Adat sendiri yang tidak mampu menjaga Adat. Kaum Adat justru memiliki pasukan baru yang terdiri dari generasi muda: generasi yang menyerap segala perubahan baru tapi juga merasa perlu kembali memahami akar Adat mereka. Mereka adalah 'pembaru Adat' tapi juga 'pembaru modernisme yang sesat'. Mereka berdiri di tengah-tengah, mengkritisi Adat dan mengkritisi Modernisme, lalu menemukan segala relevansi dari kedua sumber itu untuk menjawab tantangan hidup manusia Indonesia saat ini. Gue menyebut 'generasi baru' itu dengan sebutan 'generasi Neo-Adat'. Seperti Shiwa Nataraja, generasi baru itu memelihara keaslian yang tak berubah-ubah (Adat) dan menyambut baik perubahan baru; mereka adalah 'pelayan perubahan' tapi sekaligus 'penguasa perubahan'.

Minggu, 21 Oktober 2007

Sekilas Filsafat Etnis Asli Kita (Terakhir)

5. Logika

Logika adalah salah satu cabang ilmu filsafat yang ngebahas soal-soal seperti "apa itu pemikiran atau penalaran?", "bagaimana menalar yang benar?", "apa kriteria menalar yang benar?", "bagaimana menilai penalaran yang benar?", "apa saja batas-batas berpikir atau bernalar?", "apa saja kesalahan berpikir?", "apa hukum-hukum berpikir yang universal?", "bagaimana menyusun argumentasi yang logis?", dan lain-lain. Intinye, logika ialah filsafat berpikir atau filsafat bernalar.


Leluhur kite dah memiliki pula filsafat logika, tapi, seperti yang dah gue bilang sebelumnye, ada di antara mereka yang gak punya sistem tulisan atau aksara, sehingga logika mereka harus digali dari tradisi lisan mereka, seperti dari pantun-pantun, dari mitologi lisan, dari legenda-legenda, dari nyanyian mereka, dan lain-lain.


Yang perlu dipastikan sebelum ngebahas logika mereka adalah apakah mereka memiliki kosakata yang merujuk pada aktifitas berpikir atau bernalar. Rupanya, dari hasil penelitian gue, banyak dari suku-suku asli kite yang dah punya kosakata 'berpikir' dalam khazanah bahasa mereka. Misalnya, suku Banua Batu Tulis menyebutnya dengan 'Bapikir'; suku Gaay menyebutnya 'Petmiwik'; suku Dayak Kenya Badeng menyebutnya 'Ngerima'; suku Punan menyebutnya 'Petmuk'; suku Segaai menyebutnya 'Ngensang'; suku Bugis Kariangau menyebutnya 'Pikkiri'; suku Kanayan Saham menyebutnya 'Ngasek'; suku Dayak Ribun menyebutnya 'Pikiyeh'; suku Tanap menyebutnya 'Tenteh' (lihat daftar lengkapnya di tulisan gue di www.indonesianphilosophy.co.nr, yang judulnye 'Argumen Morfologis', oceh?). Nah, kalo di dalam bahasa aja dah ada kata untuk menyebut aktifitas berpikir atau bernalar, maka otomatis mereka pun memiliki logika.


Lalu bagaimana dengan 'isi' penalaran mereka? Inilah yang asyik untuk diterangin di sini. Kalian dah tau kan 'deduksi' dan 'induksi' atau 'metode deduktif' dan 'metode induktif'? Masih inget dengan pembahasan kita tentang 'epistemologi' di blog ini kan? Kalo lupa, baca lagi aja dulu, baru baca lagi di bagian terakhir ini, oceh?


Bagi yang masih inget, kita akan lanjutkan, bahwa dengan metode empiris (alam takambang jadi guru) itu, leluhur kite membuat induksi-induksi. Induksi ialah kesimpulan yang diperoleh dengan ngegunain metode empiris. Caranya gini: apapun yang terjadi di alam ini dicerap oleh leluhur kite pake panca-indera mereka. Misalnye, leluhur kite melihat awan hitam (mendung) di langit, lalu mendengar halilintar dan kilat, lalu melihat awan kian hitam, lalu merasakan turunnya air dari langit yang menetes di kepala mereka. Makin lama air dari langit itu makin deras. Maka terjadilah 'turunnya air dari langit yang kian deras'; merekapun segera memberikan nama untuk fenomena itu, sehingga terciptalah kata 'hujan'.


Dari fenomena 'hujan' yang mereka saksiin pake mata, denger pake kuping, dan yang mereka rasa pake kulit mereka, mereka pun membuat suatu induksi: 'hujan' akan turun kalo sebelumnya ada awan mendung, kilat dan halilintar. Induksi yang masih 'mentah' itu akan mereka uji lagi di kesempatan yang lain, di waktu lain, dan di saat lain. Jika besok hari, lalu besok harinya lagi, terus besok-besok-besok-besok harinya lagi mereka nemuin ada awan mendung dan dengar ada halilintar en kilat, trus turun lagi ujan, maka barulah mereka cukup bukti, bahwa induksi yang mereka hasilkan 'udah matang', udah teruji berkali-kali dengan panca-indera mereka. Jadi, mereka menghasilkan induksi melalui serangkaian ujian-ujian dengan panca-indera mereka. Di saat mereka bikin induksi ini, mereka dah menggunakan apa yang disebut pareso atau rasio (masih inget kan pelajaran epistemologi kite??). Jadi, mereka gunain alam takambang jadi guru (metode empiris) dan pareso (akal, rasio) untuk ngebikin induksi (dan nantinya juga deduksi).


Induksi-induksi ini nantinya akan jadi 'deduksi'. Waduh, apa pula nih 'deduksi'? Setelah leluhur kite membuat induksi tentang ujan tadi ('jika ada awan mendung, trus ada halilintar dan kilat, maka ujan akan turun"), mereka pun membuat induksi tadi jadi deduksi. Deduksi ialah kesimpulan yang kebenarannya dianggap umum; kepastiannya dah gak diragukan lagi; kevalidannya dah mutlak dan gak bisa diubah-ubah, menurut ujian panca-indera mereka. Karena dah jadi deduksi, maka ia dapat dipake, untuk mengambil kesimpulan baru dari fenomena-fenomena alam yang baru ditemukan mereka lewat panca-indera mereka. Misalnya, deduksinya ialah 'jika ada awan mendung, halilintar dan kilat, maka ujan akan turun", trus mereka pergi ke suatu tempat, misalnya namanya 'X'. Di kota 'X', mereka melihat awan mendung, denger halilintar dan kilat, maka segera mereka bernalar. kira-kira di otak mereka, mereka bernalar kayak gini:




1. Jika ada awan mendung, ada halilintar dan kilat, maka ujan akan turun (Deduksi)

2. Di kota 'X', ada awan mendung dan ada halilintar dan kilat (pengalaman baru)

maka =

3. Di kota 'X' akan turun ujan (kesimpulan baru).


Begitulah leluhur kite membuat induksi dan deduksi terus; begitulah leluhur kite bernalar. Dari metode alam takambang jadi guru dan metode pareso, mereka melahirkan banyak induksi-deduksi, misalnya bahwa alam semesta ini teratur atau memiliki mekanisme (bhs. Minang, alua), sebagaimana dijelaskan dalam pantun-pantun Minangkabau berikut ini:


Kamanakan barajo kapado mamak,
Mamak barajo kapado tungganai,
Tungganai barajo kapado panghulu,
Panghulu barajo kapado mufakat,
Mufakat barajo kapado alua jo patuik,
Alua jo patuik barajo kapado bana,
Bana bardiri dengan sandirinyo.

(Kemenakan dipimpin oleh mamak,
mamak dipimpin oleh tungganai,
tungganai dipimpin oleh penghulu,
penghulu dipimpin oleh mufakat,
mufakat dipimpin oleh mekanisme alam dan kepatutan,
tatanan alam dan kepatutan dipimpin oleh Kebenaran,
Kebenaran berdiri sendiri.)



Karena mereka memiliki deduksi bahwa alam memiliki alua ('alur alam', 'hukum alam') ini, maka semua manusia harus mematuhi 'hukum alam' itu. Tidak mematuhinya berarti merusak tatanan alam.



Leluhur Minangkabau memandang Adat sebagai bagian dari 'hukum alam' ini (alua). Karena alam memiliki 'hukum' atau 'mekanisme' yang bersifat mutlak, dan adat mereka ambil dari 'hukum alam' ini (inget kan, alam takambang jadi guru?), maka adat pun bersifat mutlak (gak bisa diubah-ubah). Ini disebut orang Riau dengan adat sebenar adat atau disebut orang Minang dengan adat babuhul mati. Kata orang Minang, adat tak lekang oleh paneh, tak lapuak oleh hujan (adat tidak lekang karena panas dan tak lapuk karena hujan); kata orang Bugis, rusak taro datu tenrusak taro ade' (hukum datuk dapat dirusak, tapi hukum Adat tak bisa dirusak) (Depdikbud 1984:115). Karena deduksi itu, maka mereka pun berkesimpulan bahwa semua orang yang melanggar adat berarti melanggar aturan alam (alua) dan pelanggaran terhadap alua akan merusakkan tatanan alam itu, maka setiap orang yang melanggar harus diberi sanksi agar tatanan alam tidak lagi dirusak dan adat yang mengikuti tatanan alam tidak lagi dilanggar.

Sabtu, 20 Oktober 2007

Sekilas Tentang Filsafat Etnis Kita (Bag. 4)

4. Estetika

Estetika ialah salah satu cabang ilmu filsafat yang ngebahas soal-soal seperti "apa itu keindahan?", "kapan sesuatu itu disebut indah?", "apa saja kriteria sesuatu dapat disebut indah atau buruk?", "bagaimana cara menilai keindahan?", "apa itu seni?", "kapan sesuatu layak disebut seni?", "bagaimana menilai suatu karya seni?", "kriteria apa yang dipake agar sesuatu dapat disebut seni?", "bagaimana cara menilai selera?", "apa tujuan dari seni?", dan lain-lain. Intinye, estetika ialah filsafat keindahan atau filsafat seni.


Leluhur kite juga dah punya estetika. Awalnye sih, menurut gue, mereka gak sengaja menemukan estetika. Setiap mereka liat fenomena alam yang mendebarkan, mereka kepikiran, lalu mereka memikir-mikirkannya, terbayang-bayang dengannya, lalu saking terpesonanya, mereka mengekspresikannya dengan menggambar atau melukiskannya dalam bentuk gambar. Maka, mulailah mereka melukis atau menggambar di gua-gua, seperti yang bisa kite liat di Gua Pattakere di Sulawesi. Mereka melukis tangan-tangan mereka di dinding gua (persis kayak kite sekarang nyablon). Mereka lalu bereksperimen dengan warna-warna yang mereka temuin dari pohon-pohon, daun-daun atau darah hewan. Dari eksperimen warna, mereka menciptakan tato (seperti di suku Dayak, suku Irian), menciptakan kain tenun, menciptakan pakaian, menciptakan alat perang, menciptakan arsitektur rumah, dan lain-lain.


Ada juga suku yang bereksperimen dengan pahatan-pahatan (seperti suku Dani, suku Asmat, suku Batak-Karo, suku Toraja), sehingga mereka menciptakan seni pahat yang indah dan eksotik, seperti seni patung Mbis suku Asmat, seni hias perahu kayu suku Batak-Karo, dan seni hias rumah Toraja.


Ada juga suku yang bereksperimen dengan gerak-gerak tari (seperti suku Jawa, suku Sunda, suku Aceh, suku Melayu, suku Betawi, suku Dayak, suku Irian, dan lain-lain), sehingga mereka menciptakan tarian-tarian yang gerakannya indah dan eksotik.


Ada juga suku yang bereksperimen dengan irama-irama suara (hampir semua suku asli melakukannya), sehingga mereka menciptakan lagu-lagu bernada indah, menciptakan pantun-pantun berrima, menciptakan syair-syair, puisi-puisi, kakawin, cangkriman, dan lain-lain.


Semua suku asli Indonesia menghasilkan semua 'produk seni indah' itu bukan cuma untuk berindah-indah atau menikmatinya demi kesenangan mereka aja, tapi juga untuk beribadah, berhubungan dengan ruh-ruh nenek moyang (banyak tarian yang mereka ciptakan untuk menghadirkan ruh-ruh leluhur ke dunia), mengingat-ingat leluhur asli mereka, bahkan juga untuk mewariskan nilai-nilai leluhur (jadi, ada unsur edukatifnye, kayak sekolahan hehehe!). Produk pahat dan ukiran Mbis suku Asmat, misalnya, dibuat untuk memuja kesakralan leluhur; Tari Tunggal Penaluan suku Batak adalah tarian pemanggil kekuatan gaib dan penjemput roh-roh pelindung untuk hadir di tempat pemujaan; Gambar bulan dan matahari dalam pahatan Mbis, bukanlah mengekspresikan fenomena bulan dan matahari yang sempat ditangkap oleh mata telanjang manusia Asmat, tapi merepresentasikan Yang Ilahi. Gambar kemaluan lelaki yang dipahat pada pahatan Mbis suku Asmat, misalnya, dipahami sebagai lambang ‘kesuburan’: ‘Langit’ (yang dilambangkan dengan kemaluan lelaki) menurunkan hujan ke ‘Dunia’ (yang dilambangkan dengan kemaluan wanita) dan menyuburkannya, sehingga lahirlah tetumbuhan. Gambar wajah-wajah leluhur yang dipahat pada pahatan suku Asmat juga bukannya cuma dibuat untuk menirukan wajah fisikalnya, tapi untuk membangun hubungan antara ‘yang sementara’ dan ‘yang abadi’(Wiyoso Yudoseputra, Seni Pahat Irian Jaya, h. 59).


Genderang perunggu yang ditemukan di Babakan, di Selayar dan di Pejeng, seluruhnya indah dihias dengan gambar simbolik yang sama: burung pelikan atau bangau Cina. Burung pelikan adalah simbol Yang Ilahi; sesuatu yang terbang di Langit, berasal dari Langit, tempat dimana Yang Ilahi berada. Simbol itu sengaja digambar di atas genderang perunggu, karena sesuai dengan fungsi genderang itu, yaitu, ditabuh dan dipukul dalam upacara ‘minta hujan’. Hujan berasal dari atas, dari Langit, dan burung pelikan adalah ‘Burung Sakral’ dari Langit, yang dapat menyampaikan kepada Tuhan Di Langit untuk mengabulkan permohonan manusia di bumi, dengan menurunkan hujan, yang membawa kesuburan bumi (Jakob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia, hh. 116-119).


Gambar ‘perahu’ juga sering digambarkan pada arsitektur rumah di Toraja, rumah-rumahan perahu yang dilabuhkan ke laut pada upacara Labuhan di Jawa, Sunda dan Bali, kain-kain tenun di Lampung, bejana air di Minangkabau, hiasan kepala perempuan Lampung, ukiran kayu di Irian Jaya, perahu kayu di Batak-Karo, perahu kayu dan ukiran-ukiran kayu Beaju-Dayak, ukiran kayu di Alor, motif perahu pada batu nisan di Pulau Tanimbar, dan lain-lain, karena ‘perahu’ dipahami sebagai simbol kendaraan menuju ‘Alam Ruh’. Setiap orang mati, ruhnya akan berpindah ke ‘Lautan Ruh’, yang diantar dengan ‘Perahu’. Karena itu pulalah, orang Toraja menyebut keranda mereka dengan prau.


Tu kan? Gue bilang juga ape, leluhur kite rupanya dah punya estetika yang keren khan??

Kamis, 18 Oktober 2007

Sekilas Tentang Filsafat Etnis Kita (Bag. 3)

3. Epistemologi

Epistemologi ialah salah satu cabang ilmu filsafat yang ngebahas soal-soal seperti "apa itu pengetahuan?", "bagaimana cara manusia menemukan pengetahuan?", "kapan pengetahuan patut disebut benar atau salah?", "apa saja kriteria pengetahuan yang benar?", "apa saja batas-batas pengetahuan manusia?", dan lain-lain.


Leluhur kita dah memikirkan sejenis epistemologi sejak dulu. Tapi, seperti yang dah gue jelasin di awal, mereka kadang gak sempat berpikir pentingnya tulisan, sehingga epistemologi mereka diwariskan lewat tradisi tutur (oral tradition). Tidak semuanya sih yang belom ditulis; ada juga yang udah punya sistem tulisan.


Hampir semua suku asli di Indonesia dah punya kosakata 'tahu' atau 'mengetahui'; satu hal yang menunjukkan bahwa epistemologi sudah dibangun oleh mereka. Menurut penelitian gue terhadap 32 bahasa yang dimiliki 32 'suku-suku kecil' (yakni, suku-suku yang beranggotakan sekitar seribu orang aja), mereka dah punya kosakata 'tahu' atau 'mengetahui' (lebih lengkapnya, baca aje artikel gue di www.indonesianphilosophy.co.nr yang judulnye 'Argumen Morfologis', oce?).


Selain itu, orang Indonesia sendiri (terutama dari suku Melayu) punya istilah 'tahu', yang darinya muncul kata-kata derivatif seperti 'mengetahui', 'pengetahuan', 'ketahuan', 'paling tahu', dan lain-lain. Kata 'tahu' rupanya berasal dari kata dalam bahasa Mikronesia ahu, yang berarti 'altar dari batu alami yang bentuknya datar'. Dalam masyarakat Mikronesia, altar batu datar adalah tempat suci untuk menyembah ruh-ruh leluhur. Kata Mikronesia ahu lalu diadopsi orang Melayu-Kalimantan menjadi au atau ao. Dari orang Kalimantan, kata au atau ao itu lalu disebarkan kepada orang Melayu di Sumatera dan di Jawa, sehingga menjadi tahu. Sejak itu, orang Melayu menyebut 'orang tahu' sebagai 'orang yang selalu meletakkan segalanya ke tempat suci; selalu mengembalikan segalanya kepada Yang Suci, karena tidak memahaminya dengan sempurna dan tak ingin berprasangka'. Jadi, tahu berarti mengakui keterbatasan pengetahuan manusia jika dibandingkan dengan Pengetahuan Yang Benar yang masih banyak dan misterius baginya (Ridwan Saidi, Adat dan Budaya Masyarakat Betawi, Kata Pengantar).


Leluhur suku Minangkabau, misalnya. Mereka menganggap Alam, Hewan, dan Tetumbuhan adalah Guru Segalanya, karena itu mereka mengamat-amati alam semesta dengan panca-indera mereka untuk mengambil pengetahuan yang nantinya digunakan demi kebutuhan mereka. Ingat pepatah mereka: Alam takambang jadi guru (alam semesta yang luas ini menjadi guru).


Mereka udah lama ngegunain panca-indera mereka untuk mengenali, ngalamin, ngerasain, ngelihat, ngerenungin gejala-gejala alamiah di sekitar mereka, dan nyimpulin pengetahuan baru dari gejala-gejala yang udah dikenalin itu. Apa yang terlihat, terasa, teraba, terdengar, terkenali merupakan bahan-bahan inderawiah untuk disimpulkan dengan kesimpulan logis yang amat sederhana. Karena itu, pengetahuan mereka tersusun dari pengamatan-pengamatan kasat-mata; metafisika mereka terbangun dari hal-hal inderawiah; logika mereka berasal dari data-data inderawiah; etika mereka berdasarkan pengamatan-pengamatan inderawiah; sains mereka berasal dari pengamatan-pengamatan inderawiah dari alam, hewan, dan tetumbuhan, sebagaimana anak-anak Adam, Abil dan Kabil, yang menirukan insting burung untuk belajar mengubur mayat manusia.


Kenape mereka yakin bahwa alam semesta adalah guru yang bisa diandalin? Orang Minang percaya, bahwa alam semesta ini punya aturan, punya 'hukum', punya tatanan yang teratur (Nature's order), yang kalo dipatuhin, maka manusia akan selamat. Kata mereka:


Alua jo patuik barajo kapado bana,
Bana bardiri dengan sandirinyo.

Tatanan alam dan kepatutan dipimpin oleh Kebenaran,

sementara Kebenaran berdiri dengan sendirinya.

Bukan cuma suku Minang yang berguru dengan alam semesta. Suku Minahasa juga gitu. Mereka, misalnya, harus mendengarkan dengan sungguh-sungguh teriakan atau arah terbang burung bakeke dan burung kembaluan, karena teriakan atau arah terbang kedua burung itu merupakan 'tanda-tanda' dari alam, agar mereka selamat pada saat mereka hendak memilih waktu untuk membuka perkebunan baru atau pemukiman baru. Selain itu, tikus dan ular juga dipahami sebagai 'tanda-tanda alam'. Bila hewan itu berlari memotong jalan yang akan dilewati, orang Minahasa terpaksa kembali ke tempat semula, karena tikus dan ular itu merupakan tanda-tanda dari alam akan adanya bahaya. Siulan burung manguni juga dipercaya orang Minahasa sebagai kabar alam mengenai keberuntungan. Jika burung manguni bersiul 107 kali berturut-turut, maka itu alamat alam akan adanya anugerah yang besar bagi seluruh penduduk negeri. Jika seorang Minahasa sakit keras, maka cara dan bentuk pengobatannya akan dikabarkan oleh alam lewat babi yang disembelih dan dibaca hatinya. Dalam hati babi itu akan terbaca cara dan bentuk pengobatannya (N. Graafland, De Minahasa, hh. 90-94).

Pengetahuan bukan cuma didapet lewat pengamatan panca-indera terhadap alam semesta (alam takambang jadi guru), tapi juga lewat pareso (akal) dan raso (perasaan moral). Kata orang Minang:

Raso dibao naik, pareso dibao turun.

Segala yang dirasa ditimbang dengan yang di atasnya (akal),

Segala yang diakalkan ditimbang dengan yang di bawahnya (rasa).

(Mursal Esten, Minangkabau: Tradisi dan Perubahan, hal. 22)

Selain dengan raso dan pareso, manusia juga dapat mencapai pengetahuan lewat kondisi trance (kerasukan ruh-ruh leluhur). Banyak suku seperti suku-suku Aceh, suku Jawa, suku Bali, suku Batak, suku Minahasa dan lain-lain yang mencapai pengetahuan lewat cara ini. Mereka sengaja gunain tabuhan gendang dengan irama monoton, tari-tarian ekstatis, pengekangan nafas, mengulang kata-kata suci terus-menerus, nyalain asap dupa, jathilan, samadhi, dan lain-lain untuk memperoleh pengetahuan, yang mereka sebut dengan bekal batin, cahya, ening, ilham, pepadhang, pulung, sipat tinarbuka, wahyu, wangsit dan wisik. Pengetahuan itu berguna untuk ngetahui kapan ‘hari baik’ dan ‘hari buruk’ manusia, kapan ‘nasib baik’ dan ‘nasib buruk’ yang akan diperoleh manusia, kapan ‘hari keberuntungan’ dan ‘hari sial’ dalam usaha manusia, kapan waktu terbaik untuk belanja, bepergian, membuat rumah, sumur, atau membuat pagar, atau waktu yang terbaik untuk kawin (JWM. Bakker, Agama Asli Indonesia, h. 86, 95-107).

Orang Jawa juga punya cara memperoleh pengetahuan yang disebut 'rasa'. Rasa ialah cara memperoleh pengetahuan bukan lewat otak atau panca-indera, tapi lewat intuisi atau indera keenam (the sixth sense). Pengetahuan yang didapat dengan rasa ialah pengetahuan tentang hakikat Aku, hakikat ketuhanan yang ada di dalam diri manusia. Orang Jawa percaya bahwa Tuhan yang nun jauh di sana turun ke dalam diri manusia supaye manusia ngerasain wujudNya. Biar bisa ngerasain keberadaan Tuhan, manusia Jawa ngegunain rasa. Dalam Serat Wirid Hidayat Jati, filosof Jawa bernama Ranggawarsita ngejelasin bahwa rasa letaknye jauh di atas panca-indera. Rasa letaknya jauh di atas otak di kepala, hati di dada, atau penis di bagian kemaluan:

Sesungguhnya Aku [Tuhan] mempersiapkan sebuah mahligai dalam Baitul Makmur (kepala), yaitu rumah tempat keramaianKu, terdiri dalam kepala manusia. Dalam kepala ada dimagh, yaitu otak; di dalam otak ada manik, di dalam manik ada budi, di dalam budi ada sukma dan rasa, di dalam rasa ada Aku. Tak ada Tuhan kecuali Aku, Zat yang meliputi keadaan yang sesungguhnya…

Sesungguhnya Aku [Tuhan] mempersiapkan sebuah mahligai dalam Baitul Muharram (dada), yaitu rumah tempat laranganKu, terdirikan dalam dada manusia. Dalam dada ada hati, di antara hati ada jantung, di dalam jantung ada budi. Di dalam budi ada jinem yakni pikiran. Dalam angan-angan (pikiran) ada sukma, dalam sukma ada rasa, dalam rasa ada Aku. Tidak ada Tuhan selain Aku, Zat yang meliputi keadaan yang sesungguhnya…

Sesungguhnya Aku [Tuhan] mempersiapkan sebuah mahligai dalam Baitul Muqaddas (penis), yaitu rumah tempat persucianKu, terdirikan dalam kantong kemaluan manusia. Yang ada dalam kemaluan itu pringsilan (buah pelir); di dalam pringsilan ada mani, dalam mani ada madi, dalam madi ada wadi (tempat), dalam wadi ada manikam, dalam manikam ada rasa. Dalam rasa ada Aku. Tak ada Tuhan selain Aku, Zat yang meliputi keadaan yang sesungguhnya. Maka mula-mula sebagai nukat (titik) gaib, kemudian turun menjadi johar awwal. Di situlah adanya Alam Ahadiyat, Alam Arwah, Alam Wahidiyat, Alam Misal, Alam Ajsam, dan Alam Insan kamil, yakni manusia yang sempurna, yakni sifat Aku...

Selain itu, orang Indonesia juga mempunyai cara memperoleh pengetahuan yang lain, yaitu budi. Kata ‘budi’ dimaknai oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai ‘alat batin yang merupakan paduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk’, sedangkan kata ‘budaya’ dimaknai dengan ‘pikiran atau akal budi’ dan kata ‘akal budi’ sendiri merupakan sinonim untuk kata ‘budi’. Alat batin (daya yang inheren) dalam setiap manusia untuk berpikir dan memutuskan keputusan logis dan keputusan etis dinamai orang Indonesia dengan sebutan ‘budi’. Pengetahuan yang didapet dari aktifitas menggunakan ‘budi’ ini dinamai dengan kata ‘kebudayaan’.

Selain yang udah dijelasin di atas, semua suku asli Indonesia menganggap bahwa semua pengetahuan yang berasal dari leluhur yang udah dilembagakan dan dipraktekkan sejak lama dan turun-temurun (yakni yang sekarang populer disebut adat) adalah pengetahuan yang valid dan absolut (gak berubah-ubah), karena itu mereka anti-inovasi dan anti-pembaharuan. Padahal, kalo mereka tahu bahwa adat juga berasal dari pengamatan panca-indra, dari raso dan pareso, dari kondisi trance, dari rasa dan dari budi, pasti mereka juga akan memperbaharuinya jika situasi dan kondisi alam sudah berubah.

Anyway, itulah epistemologi suku-suku asli kite. Mereka jago juga kan berepistemologu eh salah epistemologi hehehe.







Rabu, 10 Oktober 2007

Sekilas Filsafat Etnis (Bag. 2)

2. Kosmologi
Kosmologi adalah sebuah cabang ilmu filsafat yang ngebahas tentang 'kosmos' atau alam semesta. Soal-soal seperti 'gimana sih asal mula adanya alam semesta?', 'apakah ia terjadi melalui penciptaan (dari tiada jadi ada, creatio ex nihilo) atau melalui pancaran (illuminatio), atau melalui cinta?', 'setelah semesta ada, apakah ia berkembang?, 'apakah semesta berkembang menuju satu tujuan akhir (teleologi), ataukah ia berkembang sendiri tanpa tujuan akhir?' dibahas di sini.
Para leluhur kita di masa neolitik udah mikirin gimana terjadinya alam semesta (termasuk kita, manusia). Mereka nyiptain mitologi-mitologi yang ngejelasin penciptaan alam semesta. Itu nunjukin bahwa leluhur kita gak goblok. Mereka udah gunain otak mereka untuk ngejelasin asal mula terjadinya alam semesta.
Sebenernya ada banyak versi mitologi penciptaan alam semesta yang berhasil gue temuin dari banyak suku asli Indonesia. Tapi karena blog ini cuma buat pengantar, jadi gue gak mau ngejelasin secara detil semua mitologi itu. Yang menurut gue cukup keren diungkap di sini ialah mitologi penciptaan alam semesta yang dimiliki suku Dayak-Benuaq dan suku Dayak-Tunjung di Pulau Kalimantan.
Seperti yang gue dah bilang sebelumnya, karena mereka belom mengenal bahasa tulisan, jadi mitologi yang keren ini belom dialihkan ke tulisan, jadi masih dinyanyiin. Beruntung seorang bule, namanya Michael Hopes, pernah meneliti mitologi ini dan mengalih-tulisanin mitologi yang hingga saat ini masih dinyanyiin itu. Gue beruntung nemuin tulisan die. Berikut ini adalah nyanyian suku Dayak-Benuaq & suku Dayak-Tunjung tentang asal mula terciptanya alam semesta, yang berhasil ditulis dalam bahasa Inggris oleh Michael Hopes, dalam bukunya Temputn: Myths of the Benuaq and Tunjung Dayak (1997):
In the beginning, before ever there was a world, there was a vast and empty space which was blacker than the darkest night. Within this space there was, it is said, a web which swayed slowly back and forth as though blown by a gentle breeze. Perched within this web was a giant bird called Beniak Lajang Langit-‘Wild Eagle of the Skies’. On the back of Beniak Lajang Langit there stood a spirit known as Wook Ngesok, his arms stretched out in front of him, his thumbs almost touching. On the left shoulder of Wook Ngesok was a place called Belikutn Tana, Bengkolokng Langit, literally, ‘A Handful of Earth; a Bulge of Sky’. Before and below this constricted place was one of Wook Ngesok outstretched arms, in the form of a long rock called Batuq Ding Dingkikng. On the right shoulder of Wook Ngesok was Tana Kuasa, Bengkolokng Tana, ‘The Land of Power, a Bulge of Earth’. In front of this place stretched the other long arm of Wook Ngesok in the form of a rock known as Batuq Rangkang Bulau…At Belikutn Tana, Bengkolokng Langit there grew eight Potukng Reyus trees and near them lived a family, eight generations of them together. The oldest couple were Itak (Grandmother) and Kakah (Grandfather) Jiur Jemputn (Black Shadow)…and finally, in the eighth generation, their son Imang Mengkelayakng… At Tana Kuasa, Bengkolokng Tana, there grew eight Nancang Suyatn trees, and by them dwelt another family, also of eight generations. The oldest couple were Itak (Grandmother) and Kakah (Grandfather) Diang Denapm (Blackest Darkness)…and finally, the child of the last couple, a woman named Lolang Kintang…so by chance the two (Imang and Lolang) met…they might as well marry…they live together…they made…a house which spanned the distance between the ends of the rocks, at the place thereafter called Batuq Ding Dingkikng Leputukng Rankang Bulau...
(Madrah & Karaakng 1997:20-29).
Ini terjemahannye dalam bahasa Indonesia:
…sebelum segalanya ada, terdapat suatu ruang kosong yang sangat luas yang gelapnya lebih pekat daripada malam. Di dalam ruang ini terdapat suatu sarang burung raksasa, yang melayang kesana-kemari, ditiup angin sepoi-sepoi. Di dalam sarang itu terdapat ‘Elang Raksasa Langit’ (Beniak Lajang Langit). Di atas pundak elang itu terdapat suatu ruh yang disebut Wook Ngesok. Wook Ngesok memiliki dua lengan berupa batu karang; lengan kanannya disebut Batuq Rangkang Bulau dan lengan kirinya disebut Batuq Ding Dingkikng.

Di bahu sebelah kiri Wook Ngesok terdapat suatu tempat yang disebut ‘segenggam bumi’ (Belikutn Tana) dan ‘segundukan langit’ (Bengkolokng Langit), sedangkan di bahu sebelah kanannya terdapat tempat yang disebut ‘tanah kekuasaan’ (Tana kuasa) dan ‘segundukan bumi’ (Bengkolokng Tana). Di tempat yang disebut ‘segenggam bumi dan segundukan langit’, tumbuhlah delapan batang pohon Potukng Reyus. Di dekat pepohonan itu, hiduplah sebuah keluarga yang terdiri dari delapan generasi; semuanya hidup dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan di tempat yang disebut ‘tanah kekuasaan dan segundukan bumi’, tumbuhlah delapan batang pohon Nancang Suyatn. Di dekat pepohonan itu, hidup pulalah sebuah keluarga yang terdiri dari delapan generasi; semuanya juga hidup dalam waktu yang bersamaan. Generasi kedelapan dari keluarga yang hidup di bahu kiri Wook Ngesok adalah seorang lelaki bernama Imang Mengkelayakng, sementara yang hidup di bahu kanannya ialah seorang perempuan yang bernama Lolang Kintang. Mereka berdua menikah dan membangun sebuah rumah besar yang luasnya sebatas Batuq Rangkang Bulau dan Batuq Ding Dingkikng…
Abis alam semesta tercipta, maka manusia pun lalu tercipta. Gimana proses terciptanya manusia? suku Dayak-Benuaq nganggap manusia sekarang adalah keturunan dari dua keluarga yang pertama kali hidup di bahu kanan dan di bahu kiri suatu roh yang disebut ‘Wook Ngesok’. Generasi kedelapan dari keluarga yang tinggal di bahu kanan adalah seorang gadis bernama Lolang Kintang, sedangkan generasi kedelapan dari yang tinggal di bahu kiri adalah seorang perjaka bernama Imang Mengkelayakng. Gadis dan perjaka itu kemudian menikah dan beranak-pinak.
Walaupun waktu itu bumi dan langit telah diciptakan, trus dipisah oleh ‘Sang Ibu Pintar Lidah’ (Ayakng Siluq Urai) dan ‘Sang Putra Bijak Pertimbangan’ (Tataau Junyukng Ayus), tapi semua keturunan Imang lebih suka hidup di langit dan tak satupun yang mau hidup di bumi. Menyadari hal itu, maka ‘Sang Ibu Pintar Lidah’ dan ‘Sang Putra Bijak Pertimbangan’ mengumpulkan sisa-sisa bahan dari pembuatan bumi dan langit, lalu mereka menyuruh ‘Sang Putri Komakng Lolakng’ dan Potek Telose Sie untuk membuat suatu sosok manusia dari sisa bahan langit dan bumi tadi, yakni, manusia yang kelak mau mendiami bumi. ‘Sang Putri Komakng Lolakng’ dan Potek Telose Siepun membuatnya. Abis itu, sosok manusia itu ditempatkan di dalam segulung kain, lalu digoyang-goyang ke kiri dan ke kanan dan menghadap matahari terbit. Tiba-tiba sosok manusia itu ngegerak-gerakin tangan dan kakinya, lalu mengeluarkan suara seperti suara nyamuk. Lama-lama, sosok itu berubah bentuk dan kian besar, mulai bisa duduk dan ketawa, lalu berdiri dan berjalan, dan akhirnya ia bisa ngomong. Manusia pertama yang mendiami bumi adalah seorang berkelamin lelaki yang diberinama ‘Tamarikukng Langit’.
Tamarikukng hidup sendirian di bumi. Suatu hari, terbersit satu gagasan dalam benak Tamarikukng untuk mendapatkan seorang teman. Die matahin salah satu tulang iga sebelah kirinya sendiri, lalu melemparnya ke arah bahu kanannya. Sejak itu, Tamarikukng tidak mengetahui kemana perginya tulang iganya itu. Abis tujuh hari ngitarin bumi sendirian, nampaklah sesosok wanita di kejauhan. Wanita itu sedang dalam posisi merangkak, kaki dan tangannya masih menempel di dalam tanah, di tempat ia tumbuh. Wanita itu bernama Ape Tempere. Tidak sabar untuk memperistrinya, Tamarikukng mencoba menarik Ape dari tanah, tapi tak berhasil, lalu ia memotong tangan dan kaki Ape dengan pisaunya. Setelah berhasil mendapatkan Ape, Tamarikukngpun membersihkan sisa tanah yang masih menempel di tangan dan kaki Ape, yaitu, tanah yang belum menjadi daging sempurna. Tanah itu kemudian disebut ‘Tanah Putus Mate’ (Tanah yang Meniscayakan Kematian). Lantaran tanah itu tidak dibiarkan berubah menjadi daging, maka manusia sejak itu mengalami kematian. Jika Tamarikukng sabar menunggu tanah itu menjadi daging Ape yang sempurna, maka keturunan mereka pasti tidak mengalami kematian. Karena itu pulalah, jika manusia mati, ia harus dikubur di dalam tanah, untuk kembali ke asalnya semula.
(Michael Hopes, Madrah & Karaakng, h. 20-31)

Keren kan? Bukan hanya suku Dayak aje yang punya kosmologi; suku Batak juga punya. Nih coba simak:

Pada mulanya tidak ada apa-apa. Di atas sana, di suatu ruang yang amat jauh, yang tidak nampak oleh penglihatan dan tidak disangka-sangka manusia, duduklah Debata, ‘Mula jadi na bolon’, sang dewa pencipta. Pada mulanya tidak ada apa-apa di bawah tempat Debata, ‘Mula jadi na bolon’, duduk itu. Yang ada hanya kehampaan yang sangat, yang diliputi oleh lautan luas dan alam arwah (netherworld), hanya ada kehitaman yang pekat, kesunyian yang amat senyap, tidak ada suara manusia, tidak ada suara binatang, apalagi suara desir angin yang berhembus. Ombak di lautan bergulung-gulung tanpa suara; tidak ada pantai yang dapat mencegah gulungannya. Hanya ada satu makhluk hidup yang diperkenankan untuk menemani kesunyian sang keabadian yang Maha Kuasa—manuk-manuk, yaitu ayam berbulu biru. Manuk-manuk ini, sang isteri dewa, menetaskan tiga telur dan dari ketiganya lahirlah tiga dewa: Batara Guru, Soripada, dan Mangala Bulan. Batara Guru pun menciptakan dunia dan manusia…

(Mochtar Lubis, Indonesia: Land under the Rainbow, Oxford, New York, Singapore: Oxford University Press, 1990, h. xiii)

Suku Dusun di Borneo juga punya kosmologi. Nih coba baca:

Pada mulanya terdapat satu batu karang di tengah laut. Pada waktu itu, belum ada tanah (bumi), yang ada hanyalah air. Batu karang itu membuka mulutnya, lalu keluarlah darinya seorang lelaki dan seorang perempuan. Mereka berdua pun menoleh ke kanan ke kiri, yang ada hanyalah air. Si perempuan lalu berkata kepada si lelaki, ‘Bagaimana bisa kita berjalan, sedangkan tanah (bumi) tidak ada di sini?’ Mereka menuruni batu karang dan mencoba menapaki permukaan air laut. Merekapun berjalan di atas air laut itu. Setelah itu, mereka kembali ke batu karang, lalu mencoba berpikir; mereka tinggal lama di karang itu; kemudian mereka berjalan lagi di atas air hingga mereka sampai ke tempat Bisagit, si ruh penyakit cacar. Bisagit telah membuat tanah (bumi), walaupun tempatnya sangat jauh dari tempat mereka.

…. Keduanya berkata kepada Bisagit dan meminta darinya segenggam tanah, ia pun memberi mereka tanah. Setibanya mereka di batu karang, mereka mencampur tanah itu dengan batu karang, sehingga karang itu menjadi tanah. Kedharingan lalu menciptakan suku Dusun, sementara istrinya Munsumundok menciptakan langit. Setelah itu, mereka berdua menciptakan matahari, lantaran tidak baik bagi manusia untuk berjalan tanpa cahaya. Lalu Munsumundok berkata, ‘Di malam hari, kita tidak memiliki cahaya. Mari kita ciptakan bulan,’ lalu merekapun menciptakan bulan dan tujuh bintang, gugusan bintang blatek dan kukurian…

(Ivor H.N. Evans, Among Primitive People in Borneo, Singapore: OUP, 1990, h. 175)

Suku Tolaki di Sulawesi juga punya kosmologi. Nih baca lagi neh!

Sebelum terjadinya alam…, maka yang ada hanya ruang kosong, tak ada apa-apa di dalamnya. Pada suatu ketika o ombu menciptakan o ngga (terang, cahaya). O ombu memandang o ngga, yang mengakibatkan o ngga menjadi panas, maka terjadilah o api (api, panas). O ombu memandang kepada o api, yang mengakibatkan o api menjadi oleo (matahari). O ombu memandang kepada oleo, yang mengakibatkan oleo bergerak. Gerakan oleo inilah kemudian yang menimbulkan o pua (angin). Selanjutnya o ombu menutup mata maka terjadilah gelap segala yang terang. Gelap inilah yang menjadikan o wingi (malam). Terjadilah siang dan malam. Kemudian o ombu mengupas dakinya dan menggulungnya menjadi gumpalan dan dilemparkannya ke bawah dan itulah yang kemudian menjadi wuta’aha (tanah yang luas, bumi). O ombu mencabut beberapa lembar rambut dan bulunya dan dilemparkannya ke wuta’aha dan itulah yang kemudian menjadikan tumbuh-tumbuhan di wuta’aha; sesudah itu o ombu mengeluarkan beberapa kutunya dan dilemparkannya ke atas wuta’aha dan itulah yang kemudian menjadikan hewan-hewan di wuta’aha. Agar tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan dapat hidup di atas wuta’aha, o ombu membuang kencingnya dan itulah yang kemudian menjadikan hujan. Segala peristiwa kilat dan guntur serta apa yang dinamakan o lelu (gempa bumi) adalah wujud dari o ombu yang menggerakkan dirinya.

(Abdurrauf Tarimana, Kebudayaan Tolaki, Jakarta: Balai Pustaka, 1993, cet-2, h. 217-8)

Tuh kan, gimana menurut lo lo pade? Leluhur kita jago juga kan ngejelasin asal mula semesta ini. Ya gak. Ya gak??


Sabtu, 29 September 2007

Sekilas tentang Filsafat Etnis Asli Indonesia (Bag. 1)

Leluhur kita ada yang gak ngewarisin filsafat mereka dalam bentuk buku-buku atau tertulis, karena mereka belom memiliki aksara/bahasa tertulis/sistem tulisan. Misalnya, kebanyakan dari suku-suku Papua dan suku-sku Kalimantan gak punya sistem tulisan. Sebaliknye, suku-suku seperti Jawa, Bali, Lombok, Melayu, punya sistem tulisan. Suku-suku yang belom punya aksara biasanye ngewarisin filsafat etnis mereka lewat media lisan/tutur (oral tradition). Mereka ngewarisin filsafat etnis mereka lewat nyanyian-nyanyian, tari-tarian, pahatan, lukisan, bentuk-bentuk ornamental dan gambar-gambar atau simbol-simbol.

Karena dua kondisi tadi (ada yang cuma punya bahasa lisan dan ada yang punya keduanya bahasa lisan dan tulisan), maka orang yang mau neliti filsafat-filsafat suku itu harus jago-jago periksa apakah suku yang ia teliti cuma punya bahasa lisan atau udah punya bahasa lisan n tulisan sekaligus. Kalo suku itu udah punya sistem tulisan, tinggal cari aja buku-buku atau karangan-karangan mereka yang udah dibukukan; tapi kalo belom punya sistem tulisan, lo harus ngedenger langsung atau ngerekam lagu-lagu mereka, terus ditranskrip (alih-tulisan) atau lo harus liat tarian-tarian mereka langsung. Tapi, kalo udah ada buku yang ngebahas tentang tradisi lisan/nyanyian atau tari-tarian, tinggal cari aja buku itu: gak perlu susah-susah pergi ke suku itu langsung. Untungnya, buku-buku yang dikarang para ahli antropologi budaya udah banyak ngebantuin untuk menelusuri filsafat etnis kita (thank a lot, you guys anthropologists!).

Trus, leluhur kite kan bukan orang yang individualis kayak kita sekarang. Mereka gak ada nafsu untuk terkenal, gak ada nafsu untuk nonjolin diri, dan gak ada kepentingan buat ngelindungin hak cipta intelektualnya. Jadi, dalam karangan-karangan mereka, gak ditemuin nama pengarangnya (anonimous). Semua karangan jadi milik umum dan diwarisi untuk umum. Filsafat diajarkan untuk umum dan tidak dipungut biaya. Pengajaran filsafat ke generasi muda adalah kewajiban sosial, bukannya komoditas komersil. Makanya, filsafat-filsafat yang ada dalam suatu suku bukan diciptakan seseorang (penciptanye aje), tapi untuk seluruh anggota suku itu. Walaupun yang nyiptain umpamanye satu orang (si X), tapi filsafat itu diwarisin, diketahui, dikaji, disebarkan, dan dipraktekkan oleh semua anggota suku. Makanya, sebutannya "filsafat suku" atau "filsafat etnis", yang berarti filsafat yang dianut oleh seluruh anggota suatu suku, bukannya filsafat 'si anu' atau filsafat 'si ani'. Itu juga ngebuktiin, bahwa leluhur kite orangnye masih komunal, bukannye individual. Keberadaan mereka masih bergantung pada identitas sosial mereka, bukannye identitas pribadi mereka.

Di bawah ini gue mau nunjukkin lo lo pade, hasil penelitian gue selama ini tentang filsafat etnis asli kite, yang gue dapat dengan cara (1). nemuin buku-buku karangan mereka (buat suku yang udeh punya sistem tulisan); (2). nemuin buku-buku yang mentranskrip nyanyian-nyanyian mereka atau mendeskripsikan tari-tarian mereka (buat suku yang belom punya sistem tulisan); (3). kalo no.1 dan no.2 gak mungkin ketemu, gue coba nemuin buku-buku yang udah ngebahas no.1 dan no.2 itu (sumber-sumber sekunder).

1. ETIKA

Etika adalah salah satu cabang ilmu filsafat yang ngebahas masalah seputar moralitas (norma-norma), prinsip-prinsip moral, dan teori-teori moral (misalnya 'teori hati nurani', 'teori rasa moral', 'teori keputusan moral', 'teori tentang kebaikan mutlak' dan 'teori tentang kebaikan relatif', 'teori tentang kejahatan', 'teori kriteria moral', 'teori tentang asal mula manusia harus bermoral', dan lain-lain). Leluhur kite sejak era neolitik udah menciptakan norma-norma, prinsip-prinsip moral, dan teori-teori moral. Sayangnya, seperti yang dah gue bilang tadi, ada di antara suku-suku kite yang gak nulis filsafat etika mereka dalam bentuk buku-buku. Jadi, bagi yang mau ngebahas filsafat etika suku asli kita, dia harus mengalih-tulisan nyanyian-nyanyian mereka atau kekayaan tradisi tutur mereka.

Filsafat etika suku asli kita dapat ditemuin di dalam pepatah-petitih, peribahasa, pantun, atau kata-kata bijak yang selama ini sering kite denger dari ortu kite, kakek-nenek kite, atau buyut kite yang masih tinggal di kampung halaman kite atau yang masih melestarikannya walaupun mereka dah tinggal di kota-kota besar. Contoh dari pantun-pantun yang berisi ajaran bijak dan mata air kearifan ialah seperti:

Berakit-rakit kehulu
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang kemudian


Kehulu memotong pagar
Jangan terpotong batang durian
Cari guru tempat belajar
Jangan jadi sesal kemudian


Kerat kerat kayu diladang
Hendak dibuat hulu cangkul
Berapa berat mata memandang
Barat lagi bahu memikul


Harapkan untung menggamit
Kain dibadan didedahkan
Harapkan guruh dilangit
Air tempayan dicurahkan


Pohon pepaya didalam semak
Pohon manggis sebasar lengan
Kawan tertawa memang banyak
Kawan menangis diharap jangan.


Semua pantun terdiri atas dua bagian: sampiran dan isi. Sampiran adalah dua baris pertama, sedangkan dua baris terakhir merupakan isi. Menurut Jakob Sumardjo, seorang filosof Indonesia, sampiran selalu menyediakan analogi/kiasan untuk isi dan merupakan simbol dari 'jagad besar' (macrocosm) bagi 'jagad kecil' (microcosm). 'Jagad besar' adalah alam semesta ini, sedangkan 'jagad kecil' adalah manusia seperti kite. Baik sampiran maupun isi harus mengandung 'keselarasan logis', sebab dua-duanya adalah simbol harmoni antara alam semesta dan manusia (Sumardjo 2002:296-324).

Selasa, 25 September 2007

Apa Sih Filsafat Indonesia?


Berawal dari pertanyaan yang tiba-tiba menggelitik gue dua tahun yang lalu (2005) "kenapa sih gak ada Filsafat Indonesia?". Padahal orang Indonesia gak kalah jeniusnya, gak kalah gokilnya, gak kalah kreatifnya dan gak kalah pinternya dengan orang di wilayah dunia yang lain. Maka, dengan bekal nekat dan dengan dukungan temen-temen nongkrong dan temen-temen diskusi, gue akhirnya mutusin buat meneliti dan membuat riset tentang Filsafat Indonesia. Alhasil, riset gue itu menghasilkan kajian baru yang gue beri nama dengan 'Kajian Filsafat Indonesia".

Ternyata gue gak sendirian. Sebelum gue, sudah ada beberapa pakar filsafat yang sudah mikirin hal yang sama dengan gue. Mereka misalnya Mohammad Nasroen (1907-1968) , beliau adalah guru besar filsafat di Universitas Indonesia. Dia sempet nulis buku yang ngebahas Filsafat Indonesia, judulnya Falsafah Indonesia (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1967), yang di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dikategorikan sebagai ‘buku langka’ dengan Nomor Panggil (Shelf Number) 181.16 NAS f.

Dalam karyanya itu, Nasroen menegaskan keberbedaan Filsafat Indonesia dengan Filsafat Barat (Yunani-Kuno) dan Filsafat Timur, lalu mencapai satu kesimpulan bahwa Filsafat Indonesia adalah suatu Filsafat khas yang ‘tidak Barat’ dan ‘tidak Timur’, yang amat jelas termanifestasi dalam ajaran filosofis mupakat, pantun-pantun, Pancasila, hukum adat, ketuhanan, gotong-royong, dan kekeluargaan (hal.14, 24, 25, 33, dan 38).

Terus, Soenoto (lahir tahun 1929), seorang mantan Dekan Fakultas Filsafat UGM (1967-1979), yang juga nulis beberapa buku tentang Filsafat Indonesia, seperti Selayang Pandang tentang Filsafat Indonesia (Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM, 1981), Pemikiran tentang Kefilsafatan Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Lembaga Studi Filsafat Pancasila & Andi Offset, 1983), dan Menuju Filsafat Indonesia: Negara-Negara di Jawa sebelum Proklamasi Kemerdekaan (Yogyakarta: Hanindita Offset, 1987).

Dalam ketiga bukunya itu, Soenoto nyempurnain karya rintisan Nasroen dengan menelusuri tradisi kefilsafatan Jawa dan memberikan penjabaran yang detil banget tentang tradisi itu.

Tokoh selanjutnya ialah R. Parmono (lahir tahun 1952), yang pernah jadi Sekretaris Jurusan (Sekjur) pada Jurusan Filsafat Indonesia di UGM yang dirintisnya bersama-sama dengan Soenoto. Dia juga nulis beberapa buku yang ngebahas Filsafat Indonesia, seperti Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia (Yogyakarta: Andi Offset, 1985), Penelitian Pustaka: Beberapa Cabang Filsafat di dalam Serat Wedhatama (1982/1983), dan Penelitian Pustaka: Gambaran Manusia Seutuhnya di dalam Serat Wedhatama (1983/1984).

Dalam Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia, R. Parmono nyempurnain kekurangan kajian Soenoto yang mengkaji sebatas tradisi kefilsafatan Jawa dengan ngelebarin lingkup kajian pada tradisi filsafat Batak, Minang, dan Bugis.

Terakhir, ialah Jakob Sumardjo (lahir di Klaten tahun 1939), seorang budayawan Bandung dari ITB. Buku-bukunya yang khusus ngebahas Filsafat Indonesia ialah: Arkeologi Budaya Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002, ISBN: 979-9440-29-7), dan Mencari Sukma Indonesia: Pendataan Kesadaran Keindonesiaan di tengah Letupan Disintegrasi Sosial Kebangsaan (Yogyakarta: AK Group, 2003).

Dalam karyanya Arkeologi Budaya Indonesia, Jakob ngebahas ‘Ringkasan Sejarah Kerohanian Indonesia’, yang secara kronologis maparin sejarah Filsafat Indonesia dari ‘era primordial’, ‘era kuno’, hingga ‘era madya’. Terus, dalam karyanya yang lain, Mencari Sukma Indonesia, Jakob pun menyinggung ‘Filsafat Indonesia Modern’, yang secara radikal amat berbeda coraknya dari ‘Filsafat Indonesia Lama’.

Keempat tokoh itu dah ngedahuluan gue, jadi menurut gue pantaslah kalo mereka gue sebut dengan 'para pelopor Filsafat Indonesia'. Gue cuma ngepopulerin apa yang udah ditemuin oleh mereka jauh-jauh hari. Peran gue cuma recalling (nginget-ngingetin lo lo pade), bahwa di Indonesia pun ada tradisi berpikir spekulatif yang udah berumur panjang (kata Mochtar Lubis dalam bukunya Indonesia: Land under the Rainbow, dah sejak era neolitik sekitar 3500 SM ampe sekarang!). Tradisi berpikir itu dibahas dalam kajian yang disebut 'Filsafat Indonesia'. Jadi, gitu deh sejarahnya knapa ada kajian yang disebut 'Filsafat Indonesia'.

Nah, kalo ada yang nanya "apa sih definisi Filsafat Indonesia?", gue akan ngutip apa yang dah gue tulis di Wikipedia Indonesia n Wikipedia Inggris. Filsafat Indonesia ialah "sebutan umum untuk tradisi kefilsafatan yang dilakukan oleh penduduk yang mendiami wilayah yang belakangan disebut Indonesia. Filsafat Indonesia diungkap dalam pelbagai bahasa yang hidup dan masih dituturkan di Indonesia (sekitar 587 bahasa) dan 'bahasa persatuan' Bahasa Indonesia, meliputi aneka mazhab pemikiran yang menerima pengaruh Timur dan Barat, disamping tema-tema filosofisnya yang asli."

Siapa aje filosof Imdonesia? Mochtar Lubis ngejawab bahwa filosof Indonesia yang paling termula ialah para leluhur, yakni para bijak dan para cerdik pandai yang hidup dalam suku-suku etnis asli Indonesia (orang Barat nyebut mereka 'primitif'), seperti suku Sakuddei di Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat), suku Atoni di Timor Timur, suku Marind-Anim di Papua (Irian Barat), juga di suku Minangkabau, Jawa, Nias, Batak, dan lain-lain (Lubis 1990:1-40). Trus, pas migrant-migran Tiongkok pada datang ke Indonesia antara tahun 1122-222 SM, mereka membawa-serta dan memperkenalkan Taoisme dan Konfusianisme kepada mereka (Larope 1986:4). Pada sekitar tahun 1000 M adalah masa berkembangnya alam pikiran Indonesia (Filsafat Indonesia), yang ditandai dengan kemunculan tradisi literer-filosofis Hindu-Buddha pengaruh India. Ntar, sejak awal tahun 1400-an hingga seterusnya, datanglah pemikiran Islam ke Indonesia. Terakhir, di awal abad 19 M datanglah Filsafat Barat dari orang Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda yang datang ke Indonesia. Jadi, hampir semua filsafat di dunia pernah tersebar di Indonesia.

Gue rasa cukup dulu untuk perkenalan ini. Gue janji gue akan tulis buat artikel mendatang buat lo lo pade, pembaca blog gue yang kebetulan ngeliat artikel ini, yang ngebahas tentang Filsafatnya para leluhur kita, yaitu Filsafat Etnis Asli di Indonesia. See you again next time!
 
KampungBlog.com - Kumpulan Blog-Blog Indonesia Indonesia To Blog -Top Site Literature blogs Top Blogs Philosophy Blogs - BlogCatalog Blog Directory KampungBlog.com  - Kumpulan Blog-Blog Indonesia Indonesia To Blog -Top Site Literature blogs Top  Blogs