3. EpistemologiEpistemologi ialah salah satu cabang ilmu filsafat yang ngebahas soal-soal seperti "
apa itu pengetahuan?", "bagaimana cara manusia menemukan pengetahuan?", "kapan pengetahuan patut disebut benar atau salah?", "apa saja kriteria pengetahuan yang benar?", "apa saja batas-batas pengetahuan manusia?", dan lain-lain.
Leluhur kita dah memikirkan sejenis epistemologi sejak dulu. Tapi, seperti yang dah gue jelasin di awal, mereka kadang gak sempat berpikir pentingnya tulisan, sehingga epistemologi mereka diwariskan lewat tradisi tutur
(oral tradition). Tidak semuanya sih yang belom ditulis; ada juga yang udah punya sistem tulisan.
Hampir semua suku asli di Indonesia dah punya kosakata 'tahu' atau 'mengetahui'; satu hal yang menunjukkan bahwa epistemologi sudah dibangun oleh mereka. Menurut penelitian gue terhadap 32 bahasa yang dimiliki 32 'suku-suku kecil' (yakni, suku-suku yang beranggotakan sekitar seribu orang aja), mereka dah punya kosakata 'tahu' atau 'mengetahui' (lebih lengkapnya, baca aje artikel gue di
www.indonesianphilosophy.co.nr yang judulnye 'Argumen Morfologis', oce?).
Selain itu, orang Indonesia sendiri (terutama dari suku Melayu) punya istilah 'tahu', yang darinya muncul kata-kata derivatif seperti 'mengetahui', 'pengetahuan', 'ketahuan', 'paling tahu', dan lain-lain. Kata 'tahu' rupanya berasal dari kata dalam bahasa Mikronesia
ahu, yang berarti 'altar dari batu alami yang bentuknya datar'. Dalam masyarakat Mikronesia, altar batu datar adalah tempat suci untuk menyembah ruh-ruh leluhur. Kata Mikronesia
ahu lalu diadopsi orang Melayu-Kalimantan menjadi
au atau
ao. Dari orang Kalimantan, kata
au atau
ao itu lalu disebarkan kepada orang Melayu di Sumatera dan di Jawa, sehingga menjadi
tahu. Sejak itu, orang Melayu menyebut 'orang
tahu' sebagai 'orang yang selalu meletakkan segalanya ke tempat suci; selalu mengembalikan segalanya kepada Yang Suci, karena tidak memahaminya dengan sempurna dan tak ingin berprasangka'. Jadi,
tahu berarti mengakui keterbatasan pengetahuan manusia jika dibandingkan dengan Pengetahuan Yang Benar yang masih banyak dan misterius baginya (Ridwan Saidi,
Adat dan Budaya Masyarakat Betawi, Kata Pengantar).
Leluhur suku Minangkabau, misalnya. Mereka menganggap Alam, Hewan, dan Tetumbuhan adalah Guru Segalanya, karena itu mereka mengamat-amati alam semesta dengan panca-indera mereka untuk mengambil pengetahuan yang nantinya digunakan demi kebutuhan mereka. Ingat pepatah mereka:
Alam takambang jadi guru (alam semesta yang luas ini menjadi guru).
Mereka udah lama ngegunain panca-indera mereka untuk mengenali, ngalamin, ngerasain, ngelihat, ngerenungin gejala-gejala alamiah di sekitar mereka, dan nyimpulin pengetahuan baru dari gejala-gejala yang udah dikenalin itu. Apa yang terlihat, terasa, teraba, terdengar, terkenali merupakan bahan-bahan inderawiah untuk disimpulkan dengan kesimpulan logis yang amat sederhana. Karena itu, pengetahuan mereka tersusun dari pengamatan-pengamatan kasat-mata; metafisika mereka terbangun dari hal-hal inderawiah; logika mereka berasal dari data-data inderawiah; etika mereka berdasarkan pengamatan-pengamatan inderawiah; sains mereka berasal dari pengamatan-pengamatan inderawiah dari alam, hewan, dan tetumbuhan, sebagaimana anak-anak Adam, Abil dan Kabil, yang menirukan insting burung untuk belajar mengubur mayat manusia.
Kenape mereka yakin bahwa alam semesta adalah guru yang bisa diandalin? Orang Minang percaya, bahwa alam semesta ini punya aturan, punya 'hukum', punya tatanan yang teratur (
Nature's order), yang kalo dipatuhin, maka manusia akan selamat. Kata mereka:
Alua jo patuik barajo kapado bana,
Bana bardiri dengan sandirinyo.
Tatanan alam dan kepatutan dipimpin oleh Kebenaran,
sementara Kebenaran berdiri dengan sendirinya.
Bukan cuma suku Minang yang berguru dengan alam semesta. Suku Minahasa juga gitu. Mereka, misalnya, harus mendengarkan dengan sungguh-sungguh teriakan atau arah terbang burung bakeke dan burung kembaluan, karena teriakan atau arah terbang kedua burung itu merupakan 'tanda-tanda' dari alam, agar mereka selamat pada saat mereka hendak memilih waktu untuk membuka perkebunan baru atau pemukiman baru. Selain itu, tikus dan ular juga dipahami sebagai 'tanda-tanda alam'. Bila hewan itu berlari memotong jalan yang akan dilewati, orang Minahasa terpaksa kembali ke tempat semula, karena tikus dan ular itu merupakan tanda-tanda dari alam akan adanya bahaya. Siulan burung manguni juga dipercaya orang Minahasa sebagai kabar alam mengenai keberuntungan. Jika burung manguni bersiul 107 kali berturut-turut, maka itu alamat alam akan adanya anugerah yang besar bagi seluruh penduduk negeri. Jika seorang Minahasa sakit keras, maka cara dan bentuk pengobatannya akan dikabarkan oleh alam lewat babi yang disembelih dan dibaca hatinya. Dalam hati babi itu akan terbaca cara dan bentuk pengobatannya (N. Graafland, De Minahasa, hh. 90-94).
Pengetahuan bukan cuma didapet lewat pengamatan panca-indera terhadap alam semesta (alam takambang jadi guru), tapi juga lewat pareso (akal) dan raso (perasaan moral). Kata orang Minang:
Raso dibao naik, pareso dibao turun.
Segala yang dirasa ditimbang dengan yang di atasnya (akal),
Segala yang diakalkan ditimbang dengan yang di bawahnya (rasa).
(Mursal Esten, Minangkabau: Tradisi dan Perubahan, hal. 22)
Selain dengan raso dan pareso, manusia juga dapat mencapai pengetahuan lewat kondisi trance (kerasukan ruh-ruh leluhur). Banyak suku seperti suku-suku Aceh, suku Jawa, suku Bali, suku Batak, suku Minahasa dan lain-lain yang mencapai pengetahuan lewat cara ini. Mereka sengaja gunain tabuhan gendang dengan irama monoton, tari-tarian ekstatis, pengekangan nafas, mengulang kata-kata suci terus-menerus, nyalain asap dupa, jathilan, samadhi, dan lain-lain untuk memperoleh pengetahuan, yang mereka sebut dengan bekal batin, cahya, ening, ilham, pepadhang, pulung, sipat tinarbuka, wahyu, wangsit dan wisik. Pengetahuan itu berguna untuk ngetahui kapan ‘hari baik’ dan ‘hari buruk’ manusia, kapan ‘nasib baik’ dan ‘nasib buruk’ yang akan diperoleh manusia, kapan ‘hari keberuntungan’ dan ‘hari sial’ dalam usaha manusia, kapan waktu terbaik untuk belanja, bepergian, membuat rumah, sumur, atau membuat pagar, atau waktu yang terbaik untuk kawin (JWM. Bakker, Agama Asli Indonesia, h. 86, 95-107).
Orang Jawa juga punya cara memperoleh pengetahuan yang disebut 'rasa'. Rasa ialah cara memperoleh pengetahuan bukan lewat otak atau panca-indera, tapi lewat intuisi atau indera keenam (the sixth sense). Pengetahuan yang didapat dengan rasa ialah pengetahuan tentang hakikat Aku, hakikat ketuhanan yang ada di dalam diri manusia. Orang Jawa percaya bahwa Tuhan yang nun jauh di sana turun ke dalam diri manusia supaye manusia ngerasain wujudNya. Biar bisa ngerasain keberadaan Tuhan, manusia Jawa ngegunain rasa. Dalam Serat Wirid Hidayat Jati, filosof Jawa bernama Ranggawarsita ngejelasin bahwa rasa letaknye jauh di atas panca-indera. Rasa letaknya jauh di atas otak di kepala, hati di dada, atau penis di bagian kemaluan:
Sesungguhnya Aku [Tuhan] mempersiapkan sebuah mahligai dalam Baitul Makmur (kepala), yaitu rumah tempat keramaianKu, terdiri dalam kepala manusia. Dalam kepala ada dimagh, yaitu otak; di dalam otak ada manik, di dalam manik ada budi, di dalam budi ada sukma dan rasa, di dalam rasa ada Aku. Tak ada Tuhan kecuali Aku, Zat yang meliputi keadaan yang sesungguhnya…
Sesungguhnya Aku [Tuhan] mempersiapkan sebuah mahligai dalam Baitul Muharram (dada), yaitu rumah tempat laranganKu, terdirikan dalam dada manusia. Dalam dada ada hati, di antara hati ada jantung, di dalam jantung ada budi. Di dalam budi ada jinem yakni pikiran. Dalam angan-angan (pikiran) ada sukma, dalam sukma ada rasa, dalam rasa ada Aku. Tidak ada Tuhan selain Aku, Zat yang meliputi keadaan yang sesungguhnya…
Sesungguhnya Aku [Tuhan] mempersiapkan sebuah mahligai dalam Baitul Muqaddas (penis), yaitu rumah tempat persucianKu, terdirikan dalam kantong kemaluan manusia. Yang ada dalam kemaluan itu pringsilan (buah pelir); di dalam pringsilan ada mani, dalam mani ada madi, dalam madi ada wadi (tempat), dalam wadi ada manikam, dalam manikam ada rasa. Dalam rasa ada Aku. Tak ada Tuhan selain Aku, Zat yang meliputi keadaan yang sesungguhnya. Maka mula-mula sebagai nukat (titik) gaib, kemudian turun menjadi johar awwal. Di situlah adanya Alam Ahadiyat, Alam Arwah, Alam Wahidiyat, Alam Misal, Alam Ajsam, dan Alam Insan kamil, yakni manusia yang sempurna, yakni sifat Aku...
Selain itu, orang Indonesia juga mempunyai cara memperoleh pengetahuan yang lain, yaitu budi. Kata ‘budi’ dimaknai oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai ‘alat batin yang merupakan paduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk’, sedangkan kata ‘budaya’ dimaknai dengan ‘pikiran atau akal budi’ dan kata ‘akal budi’ sendiri merupakan sinonim untuk kata ‘budi’. Alat batin (daya yang inheren) dalam setiap manusia untuk berpikir dan memutuskan keputusan logis dan keputusan etis dinamai orang Indonesia dengan sebutan ‘budi’. Pengetahuan yang didapet dari aktifitas menggunakan ‘budi’ ini dinamai dengan kata ‘kebudayaan’.
Selain yang udah dijelasin di atas, semua suku asli Indonesia menganggap bahwa semua pengetahuan yang berasal dari leluhur yang udah dilembagakan dan dipraktekkan sejak lama dan turun-temurun (yakni yang sekarang populer disebut adat) adalah pengetahuan yang valid dan absolut (gak berubah-ubah), karena itu mereka anti-inovasi dan anti-pembaharuan. Padahal, kalo mereka tahu bahwa adat juga berasal dari pengamatan panca-indra, dari raso dan pareso, dari kondisi trance, dari rasa dan dari budi, pasti mereka juga akan memperbaharuinya jika situasi dan kondisi alam sudah berubah.
Anyway, itulah epistemologi suku-suku asli kite. Mereka jago juga kan berepistemologu eh salah epistemologi hehehe.