Sabtu, 29 September 2007

Sekilas tentang Filsafat Etnis Asli Indonesia (Bag. 1)

Leluhur kita ada yang gak ngewarisin filsafat mereka dalam bentuk buku-buku atau tertulis, karena mereka belom memiliki aksara/bahasa tertulis/sistem tulisan. Misalnya, kebanyakan dari suku-suku Papua dan suku-sku Kalimantan gak punya sistem tulisan. Sebaliknye, suku-suku seperti Jawa, Bali, Lombok, Melayu, punya sistem tulisan. Suku-suku yang belom punya aksara biasanye ngewarisin filsafat etnis mereka lewat media lisan/tutur (oral tradition). Mereka ngewarisin filsafat etnis mereka lewat nyanyian-nyanyian, tari-tarian, pahatan, lukisan, bentuk-bentuk ornamental dan gambar-gambar atau simbol-simbol.

Karena dua kondisi tadi (ada yang cuma punya bahasa lisan dan ada yang punya keduanya bahasa lisan dan tulisan), maka orang yang mau neliti filsafat-filsafat suku itu harus jago-jago periksa apakah suku yang ia teliti cuma punya bahasa lisan atau udah punya bahasa lisan n tulisan sekaligus. Kalo suku itu udah punya sistem tulisan, tinggal cari aja buku-buku atau karangan-karangan mereka yang udah dibukukan; tapi kalo belom punya sistem tulisan, lo harus ngedenger langsung atau ngerekam lagu-lagu mereka, terus ditranskrip (alih-tulisan) atau lo harus liat tarian-tarian mereka langsung. Tapi, kalo udah ada buku yang ngebahas tentang tradisi lisan/nyanyian atau tari-tarian, tinggal cari aja buku itu: gak perlu susah-susah pergi ke suku itu langsung. Untungnya, buku-buku yang dikarang para ahli antropologi budaya udah banyak ngebantuin untuk menelusuri filsafat etnis kita (thank a lot, you guys anthropologists!).

Trus, leluhur kite kan bukan orang yang individualis kayak kita sekarang. Mereka gak ada nafsu untuk terkenal, gak ada nafsu untuk nonjolin diri, dan gak ada kepentingan buat ngelindungin hak cipta intelektualnya. Jadi, dalam karangan-karangan mereka, gak ditemuin nama pengarangnya (anonimous). Semua karangan jadi milik umum dan diwarisi untuk umum. Filsafat diajarkan untuk umum dan tidak dipungut biaya. Pengajaran filsafat ke generasi muda adalah kewajiban sosial, bukannya komoditas komersil. Makanya, filsafat-filsafat yang ada dalam suatu suku bukan diciptakan seseorang (penciptanye aje), tapi untuk seluruh anggota suku itu. Walaupun yang nyiptain umpamanye satu orang (si X), tapi filsafat itu diwarisin, diketahui, dikaji, disebarkan, dan dipraktekkan oleh semua anggota suku. Makanya, sebutannya "filsafat suku" atau "filsafat etnis", yang berarti filsafat yang dianut oleh seluruh anggota suatu suku, bukannya filsafat 'si anu' atau filsafat 'si ani'. Itu juga ngebuktiin, bahwa leluhur kite orangnye masih komunal, bukannye individual. Keberadaan mereka masih bergantung pada identitas sosial mereka, bukannye identitas pribadi mereka.

Di bawah ini gue mau nunjukkin lo lo pade, hasil penelitian gue selama ini tentang filsafat etnis asli kite, yang gue dapat dengan cara (1). nemuin buku-buku karangan mereka (buat suku yang udeh punya sistem tulisan); (2). nemuin buku-buku yang mentranskrip nyanyian-nyanyian mereka atau mendeskripsikan tari-tarian mereka (buat suku yang belom punya sistem tulisan); (3). kalo no.1 dan no.2 gak mungkin ketemu, gue coba nemuin buku-buku yang udah ngebahas no.1 dan no.2 itu (sumber-sumber sekunder).

1. ETIKA

Etika adalah salah satu cabang ilmu filsafat yang ngebahas masalah seputar moralitas (norma-norma), prinsip-prinsip moral, dan teori-teori moral (misalnya 'teori hati nurani', 'teori rasa moral', 'teori keputusan moral', 'teori tentang kebaikan mutlak' dan 'teori tentang kebaikan relatif', 'teori tentang kejahatan', 'teori kriteria moral', 'teori tentang asal mula manusia harus bermoral', dan lain-lain). Leluhur kite sejak era neolitik udah menciptakan norma-norma, prinsip-prinsip moral, dan teori-teori moral. Sayangnya, seperti yang dah gue bilang tadi, ada di antara suku-suku kite yang gak nulis filsafat etika mereka dalam bentuk buku-buku. Jadi, bagi yang mau ngebahas filsafat etika suku asli kita, dia harus mengalih-tulisan nyanyian-nyanyian mereka atau kekayaan tradisi tutur mereka.

Filsafat etika suku asli kita dapat ditemuin di dalam pepatah-petitih, peribahasa, pantun, atau kata-kata bijak yang selama ini sering kite denger dari ortu kite, kakek-nenek kite, atau buyut kite yang masih tinggal di kampung halaman kite atau yang masih melestarikannya walaupun mereka dah tinggal di kota-kota besar. Contoh dari pantun-pantun yang berisi ajaran bijak dan mata air kearifan ialah seperti:

Berakit-rakit kehulu
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang kemudian


Kehulu memotong pagar
Jangan terpotong batang durian
Cari guru tempat belajar
Jangan jadi sesal kemudian


Kerat kerat kayu diladang
Hendak dibuat hulu cangkul
Berapa berat mata memandang
Barat lagi bahu memikul


Harapkan untung menggamit
Kain dibadan didedahkan
Harapkan guruh dilangit
Air tempayan dicurahkan


Pohon pepaya didalam semak
Pohon manggis sebasar lengan
Kawan tertawa memang banyak
Kawan menangis diharap jangan.


Semua pantun terdiri atas dua bagian: sampiran dan isi. Sampiran adalah dua baris pertama, sedangkan dua baris terakhir merupakan isi. Menurut Jakob Sumardjo, seorang filosof Indonesia, sampiran selalu menyediakan analogi/kiasan untuk isi dan merupakan simbol dari 'jagad besar' (macrocosm) bagi 'jagad kecil' (microcosm). 'Jagad besar' adalah alam semesta ini, sedangkan 'jagad kecil' adalah manusia seperti kite. Baik sampiran maupun isi harus mengandung 'keselarasan logis', sebab dua-duanya adalah simbol harmoni antara alam semesta dan manusia (Sumardjo 2002:296-324).

Selasa, 25 September 2007

Apa Sih Filsafat Indonesia?


Berawal dari pertanyaan yang tiba-tiba menggelitik gue dua tahun yang lalu (2005) "kenapa sih gak ada Filsafat Indonesia?". Padahal orang Indonesia gak kalah jeniusnya, gak kalah gokilnya, gak kalah kreatifnya dan gak kalah pinternya dengan orang di wilayah dunia yang lain. Maka, dengan bekal nekat dan dengan dukungan temen-temen nongkrong dan temen-temen diskusi, gue akhirnya mutusin buat meneliti dan membuat riset tentang Filsafat Indonesia. Alhasil, riset gue itu menghasilkan kajian baru yang gue beri nama dengan 'Kajian Filsafat Indonesia".

Ternyata gue gak sendirian. Sebelum gue, sudah ada beberapa pakar filsafat yang sudah mikirin hal yang sama dengan gue. Mereka misalnya Mohammad Nasroen (1907-1968) , beliau adalah guru besar filsafat di Universitas Indonesia. Dia sempet nulis buku yang ngebahas Filsafat Indonesia, judulnya Falsafah Indonesia (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1967), yang di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dikategorikan sebagai ‘buku langka’ dengan Nomor Panggil (Shelf Number) 181.16 NAS f.

Dalam karyanya itu, Nasroen menegaskan keberbedaan Filsafat Indonesia dengan Filsafat Barat (Yunani-Kuno) dan Filsafat Timur, lalu mencapai satu kesimpulan bahwa Filsafat Indonesia adalah suatu Filsafat khas yang ‘tidak Barat’ dan ‘tidak Timur’, yang amat jelas termanifestasi dalam ajaran filosofis mupakat, pantun-pantun, Pancasila, hukum adat, ketuhanan, gotong-royong, dan kekeluargaan (hal.14, 24, 25, 33, dan 38).

Terus, Soenoto (lahir tahun 1929), seorang mantan Dekan Fakultas Filsafat UGM (1967-1979), yang juga nulis beberapa buku tentang Filsafat Indonesia, seperti Selayang Pandang tentang Filsafat Indonesia (Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM, 1981), Pemikiran tentang Kefilsafatan Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Lembaga Studi Filsafat Pancasila & Andi Offset, 1983), dan Menuju Filsafat Indonesia: Negara-Negara di Jawa sebelum Proklamasi Kemerdekaan (Yogyakarta: Hanindita Offset, 1987).

Dalam ketiga bukunya itu, Soenoto nyempurnain karya rintisan Nasroen dengan menelusuri tradisi kefilsafatan Jawa dan memberikan penjabaran yang detil banget tentang tradisi itu.

Tokoh selanjutnya ialah R. Parmono (lahir tahun 1952), yang pernah jadi Sekretaris Jurusan (Sekjur) pada Jurusan Filsafat Indonesia di UGM yang dirintisnya bersama-sama dengan Soenoto. Dia juga nulis beberapa buku yang ngebahas Filsafat Indonesia, seperti Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia (Yogyakarta: Andi Offset, 1985), Penelitian Pustaka: Beberapa Cabang Filsafat di dalam Serat Wedhatama (1982/1983), dan Penelitian Pustaka: Gambaran Manusia Seutuhnya di dalam Serat Wedhatama (1983/1984).

Dalam Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia, R. Parmono nyempurnain kekurangan kajian Soenoto yang mengkaji sebatas tradisi kefilsafatan Jawa dengan ngelebarin lingkup kajian pada tradisi filsafat Batak, Minang, dan Bugis.

Terakhir, ialah Jakob Sumardjo (lahir di Klaten tahun 1939), seorang budayawan Bandung dari ITB. Buku-bukunya yang khusus ngebahas Filsafat Indonesia ialah: Arkeologi Budaya Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002, ISBN: 979-9440-29-7), dan Mencari Sukma Indonesia: Pendataan Kesadaran Keindonesiaan di tengah Letupan Disintegrasi Sosial Kebangsaan (Yogyakarta: AK Group, 2003).

Dalam karyanya Arkeologi Budaya Indonesia, Jakob ngebahas ‘Ringkasan Sejarah Kerohanian Indonesia’, yang secara kronologis maparin sejarah Filsafat Indonesia dari ‘era primordial’, ‘era kuno’, hingga ‘era madya’. Terus, dalam karyanya yang lain, Mencari Sukma Indonesia, Jakob pun menyinggung ‘Filsafat Indonesia Modern’, yang secara radikal amat berbeda coraknya dari ‘Filsafat Indonesia Lama’.

Keempat tokoh itu dah ngedahuluan gue, jadi menurut gue pantaslah kalo mereka gue sebut dengan 'para pelopor Filsafat Indonesia'. Gue cuma ngepopulerin apa yang udah ditemuin oleh mereka jauh-jauh hari. Peran gue cuma recalling (nginget-ngingetin lo lo pade), bahwa di Indonesia pun ada tradisi berpikir spekulatif yang udah berumur panjang (kata Mochtar Lubis dalam bukunya Indonesia: Land under the Rainbow, dah sejak era neolitik sekitar 3500 SM ampe sekarang!). Tradisi berpikir itu dibahas dalam kajian yang disebut 'Filsafat Indonesia'. Jadi, gitu deh sejarahnya knapa ada kajian yang disebut 'Filsafat Indonesia'.

Nah, kalo ada yang nanya "apa sih definisi Filsafat Indonesia?", gue akan ngutip apa yang dah gue tulis di Wikipedia Indonesia n Wikipedia Inggris. Filsafat Indonesia ialah "sebutan umum untuk tradisi kefilsafatan yang dilakukan oleh penduduk yang mendiami wilayah yang belakangan disebut Indonesia. Filsafat Indonesia diungkap dalam pelbagai bahasa yang hidup dan masih dituturkan di Indonesia (sekitar 587 bahasa) dan 'bahasa persatuan' Bahasa Indonesia, meliputi aneka mazhab pemikiran yang menerima pengaruh Timur dan Barat, disamping tema-tema filosofisnya yang asli."

Siapa aje filosof Imdonesia? Mochtar Lubis ngejawab bahwa filosof Indonesia yang paling termula ialah para leluhur, yakni para bijak dan para cerdik pandai yang hidup dalam suku-suku etnis asli Indonesia (orang Barat nyebut mereka 'primitif'), seperti suku Sakuddei di Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat), suku Atoni di Timor Timur, suku Marind-Anim di Papua (Irian Barat), juga di suku Minangkabau, Jawa, Nias, Batak, dan lain-lain (Lubis 1990:1-40). Trus, pas migrant-migran Tiongkok pada datang ke Indonesia antara tahun 1122-222 SM, mereka membawa-serta dan memperkenalkan Taoisme dan Konfusianisme kepada mereka (Larope 1986:4). Pada sekitar tahun 1000 M adalah masa berkembangnya alam pikiran Indonesia (Filsafat Indonesia), yang ditandai dengan kemunculan tradisi literer-filosofis Hindu-Buddha pengaruh India. Ntar, sejak awal tahun 1400-an hingga seterusnya, datanglah pemikiran Islam ke Indonesia. Terakhir, di awal abad 19 M datanglah Filsafat Barat dari orang Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda yang datang ke Indonesia. Jadi, hampir semua filsafat di dunia pernah tersebar di Indonesia.

Gue rasa cukup dulu untuk perkenalan ini. Gue janji gue akan tulis buat artikel mendatang buat lo lo pade, pembaca blog gue yang kebetulan ngeliat artikel ini, yang ngebahas tentang Filsafatnya para leluhur kita, yaitu Filsafat Etnis Asli di Indonesia. See you again next time!
 
KampungBlog.com - Kumpulan Blog-Blog Indonesia Indonesia To Blog -Top Site Literature blogs Top Blogs Philosophy Blogs - BlogCatalog Blog Directory KampungBlog.com  - Kumpulan Blog-Blog Indonesia Indonesia To Blog -Top Site Literature blogs Top  Blogs