Rabu, 28 November 2007

Keaslian dan Perubahan atawa Tradisi dan Modernitas

In common parlance, the terms “traditional” and “modern” suggest two differing attitudes
towards the negotiation of change, the former resisting it, the latter embracing it. But
“Tradition”, in the sense of primordial wisdom, is not necessarily resistant to change. The
image of Shiva Nataraja embodies the ideas of both stillness (the fixed, or being) and
movement (the changing, or becoming). “Tradition” is a combination of both these
elements. It is at once static Equilibrium and dynamic Attraction, the classical realism of
transcendence and the romantic idealism of immanence. Man is both a slave of change
(being subject to the processes of time) and its master (being equipped to transcend it,
spiritually). The quest for salvation is, at one level, a quest for peace, the freedom from
change, but at another, it is a quest for creativity and freshness, the freedom from
petrification.
(M. Ali Lakhani, "Understanding Tradition", www.religioperennis.org)


Gue sengaja ngutip kutipan di atas untuk memahami secara arif bahwa segala keaslian yang diwariskan oleh Adat kite, tidak mesti menolak segala perubahan yang dilakukan oleh anak-anak putra Adat itu sendiri. Mereka bukanlah 'pembangkang Adat', bukan pula 'pemberontak' atau 'pembelot', tapi mereka hendak mengadaptasikan Adat dalam bahasa modern.


Adat memang sudah lama mati 'terbunuh' oleh peradaban modern yang datang dari Arab dan dari Eropa. Peradaban Adat sudah lama digantikan dengan peradaban Islam dan peradaban Kristiani (Katolik maupun Protestan) yang datang ke Indonesia. Rumah-rumah ibadat Adat telah roboh dan digantikan Mesjid-Mesjid dan Gereja-Gereja. Jangan sepenuhnya menyalahkan mereka yang telah menyerang Adat, sebab kaum Adat sendiri yang tidak mampu menjaga Adat. Kaum Adat justru memiliki pasukan baru yang terdiri dari generasi muda: generasi yang menyerap segala perubahan baru tapi juga merasa perlu kembali memahami akar Adat mereka. Mereka adalah 'pembaru Adat' tapi juga 'pembaru modernisme yang sesat'. Mereka berdiri di tengah-tengah, mengkritisi Adat dan mengkritisi Modernisme, lalu menemukan segala relevansi dari kedua sumber itu untuk menjawab tantangan hidup manusia Indonesia saat ini. Gue menyebut 'generasi baru' itu dengan sebutan 'generasi Neo-Adat'. Seperti Shiwa Nataraja, generasi baru itu memelihara keaslian yang tak berubah-ubah (Adat) dan menyambut baik perubahan baru; mereka adalah 'pelayan perubahan' tapi sekaligus 'penguasa perubahan'.

3 komentar:

Aksarabhumi mengatakan...

Bila Islam dan Nasrani tidak mempengaruhi kita, apakah adat akan tetap seperti "aslinya"? Apa itu adat yang asli? Ah, Bro, tak ada yang tetap di dunia ini. Yang tetap itu hanya perubahan itu sendiri. Jangan terlalu mengagungkan adat. Kita boleh mengorek adat, untuk memahami akar... tapi kita juga harus memahami bahwa adat hanyalah sepenggal kisah yang teerus menerus akan berubah, sesuai dengan perubahan zaman....

Ferry Hidayat mengatakan...

Tidak mengagung-agungkan adat, kok, bro. krena adat sudah agung dari sononya jadi gak perlu pengagung-pengagung. Ini cuma reinterpretasi dari seorang penganut adat yang sudah bergelimang modernitas dan tak mau terjerumus ke pascamodernitas prematur. itu saja kok

Ferry Hidayat mengatakan...

Tidak mengagung-agungkan adat, kok, bro. krena adat sudah agung dari sononya jadi gak perlu pengagung-pengagung. Ini cuma reinterpretasi dari seorang penganut adat yang sudah bergelimang modernitas dan tak mau terjerumus ke pascamodernitas prematur. itu saja kok

 
KampungBlog.com - Kumpulan Blog-Blog Indonesia Indonesia To Blog -Top Site Literature blogs Top Blogs Philosophy Blogs - BlogCatalog Blog Directory KampungBlog.com  - Kumpulan Blog-Blog Indonesia Indonesia To Blog -Top Site Literature blogs Top  Blogs